Thursday, December 11, 2014

Tiap Menit, Indonesia Kehilangan Hutan Seluas Tiga Kali Lapangan Bola


Ilustrasi: hutan di Kalimantan Timur.
Hutan Indonesia berkurang
secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013,
Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar
atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali
luas Provinsi DKI Jakarta.

Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta
mencengangkan tersebut dalam buku Potret
Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013
yang diluncurkan pada Kamis (11/12/2014) di
Jakarta.

EG Togu Manurung, Ketua Perkumpulan FWI,
mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu,
kecepatan hilangnya hutan mengejutkan. "Setiap
menit, hutan seluas tiga lapangan bola hilang,"
katanya.

Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar.
Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6
juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di
Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta
hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan
Nusa Tenggara.

Bila praktik tata kelola lahan hutan tak berubah
dan pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah
hutan akan terus menyusut. "Kami memprediksi
10 tahun ke depan hutan di Riau akan hilang
diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi,"
kata Christian Purba, Direktur FWI.
Togu menerangkan, kondisi perusakan hutan
terparah terdapat di wilayah Sumatera dan
Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor
tambang berkontribusi besar pada kerusakan
tersebut.

Meski demikian, hutan di wilayah lain pun
mengalami ancaman. Beberapa hutan di wilayah
Papua sudah mengalami kerusakan. "Ini harus
dicegah supaya pola yang terjadi di Indonesia
barat tidak terjadi lagi di timur. Papua benteng
terakhir hutan Indonesia," ungkap Togu.
Sementara itu, hutan-hutan di pulau-pulau kecil
juga harus terus dijaga dari kerusakan. Meskipun
ditinjau dari luas tak seberapa, hutan di pulau
kecil berperan mempertahankan ketersediaan air
tawar dan benteng dari dampak perubahan iklim.
Untuk mempertahankan hutan Indonesia, Christian
menuturkan, yang diperlukan adalah perbaikan
tata kelola, perbaikan izin kehutanan, dan
pengawasan. Selain itu, juga leadership dari
pemerintah.

Masalah kehutanan tak bisa dilepaskan dari soal
korupsi lingkungan. Pihak berwenang menerima
uang untuk memudahkan perizinan. Korupsi
memicu masalah tumpang tindih perizinan dan
pembukaan hutan untuk kepentingan komersial.
Senada dengan Christian, ahli kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB), Hariardi Kartodihardjo,
juga menekankan pentingnya perbaikan tata
kelola. Undang-undang serta sejumlah rencana
dari moratorium hingga program REDD+ sudah
cukup baik. Namun, masalahnya adalah pada
tata kelola di lapangan.

Ia menilai, selama ini, karena kemampuan tata
kelola pemerintah yang buruk, program seperti
moratorium tak berhasil melindungi hutan
Indonesia. Data justru menunjukkan, kerusakan
terbesar justru terjadi di area yang dilindungi.

"Luas hutan yang rusak dalam area yang
dimoratorium 500.000 hektar per tahun, hutan
alam 200.000 hektar, hutan tanaman 400.000
hektar. Dari angka itu saja secara kasar bisa
dilihat bahwa kerusakan di wilayah yang
dimoratorium justru lebih tinggi," katanya.

No comments:

Post a Comment